Istirja’ Bukan Sekadar Ungkapan Bela Sungkawa

 

Oleh: Giska Zalfalia Titan Kavisa

Kapankah kita menjumpai kalimat istirja atau yang sering kita dengar dengan kalimat inna lillahi wa inna ilaihi roji’un? Kapankah kalimat tersebut secara spontan kita ucapkan? Seringkali kita mendengar kalimat istirja diucapkan ketika kita mendengar kabar kematian daripada saudara kita. Bahkan sudah menjadi hal yang umum kita dengar di setiap kabar duka yang menimpa. Kemudian apakah penggunaan kalimat istirja ini hanya untuk menimpali kabar kematian saudara kita?

Istirja dalam bahasa Arab (استرجاع) berarti mengembalikan. Istirja adalah kalimat inna lillahi wa inna ilaihi roji’un yang berarti “Sesungguhnya kami adalah milik Allah Swt. dan sesungguhnya kepada-Nya kita semua akan kembali” yang diambil dari penggalan surah al-Baqarah ayat 155-156.

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ ١٥٥

ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَـٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌۭ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ ١٥٦

Artinya: “Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali)”. 

Meskipun banyak yang mengira kalimat istirja’ ini hanya diucapkan ketika mendengar kabar duka, tapi sebenarnya penggunaannya lebih luas. Kalimat istirja dapat diucapkan ketika kita ditimpa segala bentuk musibah baik itu kecil maupun besar, mulai dari kecelakaan, sakit, kehilangan, atau bahkan kematian. Kalimat istirja’ juga dapat diucapkan ketika kita mendengar orang lain tertimpa musibah ataupun diri kita sendiri yang tertimpa musibah.

Ayat ini apabila kita telusri lebih lanjut memiliki makna yang lebih mendalam. Menurut Syekh Izzuddin bin Abdussalam dalam kitabnya syajaratul ma’arif, ucapan orang-orang yang ditimpa musibah terhadap istirja adalah i’tirof (sebuah pengakuan atas ketidakmampuan). Ayat di atas menjelaskan bahwa ketika kita ditimpa musibah maka hendaklah kita mengucapkan kalimat istirja sebagai bentuk pengakuan atas ketidakmampuan kita sebagai hamba dalam menghadapi musibah tersebut (i’tirof).

 I’tirof yang semestinya melahirkan 2 hal berikut:

  • dzullul ubudiyah (hinanya pangkat kehambaan)
  • qohrurrububiyyah (super otoritasnya tingkat ketuhanan)

Dalam konteks ini kalimat istirja mengajarkan kita untuk melembutkan hati dan mencegah kita dari kesombongan terhadap Allah Swt. Sudah sepantasnya ketika kita ditimpa musibah dan kita berdo’a, maka kita harus merasa hina, merasa rendah di hadapan Allah Swt. supaya kita mendapat pertolongan-Nya. Jika seorang hamba tidak memposisikan dirinya dalam kehinaan, maka ia dianggap sombong terhadap tuhannya. 

Terhadap segala musibah yang menimpa kita, kita harus mengingat bahwa semua yang kita miliki adalah titipan Allah dan diri kita ini adalah milik Allah. Allah bisa mengambil harta dan nyawa kita kembali kepada-Nya kapanpun itu. Karenanya kalimat istirja mengingatkan kita untuk bisa lebih bersabar dalam menghadapi musibah, kehilangan, dan menghadapi qadha dan qadar yang telah Allah tetapkan. Alih-alih kita mengeluhkan dan menuntut ketetapan-Nya, bersabar dan ikhlas adalah cara terbaik yang dapat kita lakukan. Istirja juga mengingatkan kita bahwa tidak ada yang patut kita sombongkan di hadapan Allah, karena kita semua milik Allah dan saat ajal menjemput kita, niscaya (pasti) kita akan kembali kepada-Nya.

Harapannya kalimat istirja ini melahirkan kesadaran spiritual dengan kita mengetahui maknanya secara mendalam, bukan hanya spontanitas kita ucapkan sebagai ucapan bela sungkawa. Lebih dari itu kalimat istirja adalah dawaaul musibah atau obatnya musibah. Kita ucapkan dengan lisan serta diikuti dengan hati. Kita serahkan urusan kita kepada Allah Swt., maka niscaya rahmat, hidayah, dan pertolongan Allah Swt. akan turun kepada kita.

Penulis merupakan santriwati Pondok Pesantren UII Putri dan mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *