PP UII Sambut Tahun Baru Islam dengan Semangat Ulama Nusantara

Organisasi Santri Pondok Pesantren (OSPP) Universitas Islam Indonesia (UII) menyambut Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram 1446 H dengan menyelenggarakan kajian yang mengusung tema “Menyongsong Tahun Baru Hijriah dengan Menghidupkan Semangat Ulama Nusantara” di PP UII, pada Ahad (7/7). Peringatan ini dihadiri oleh Direktur PP UII, Prof. Dr. Tamyiz Mukharrom, M.A., Pengasuh PP UII Putra, Ust. Dr. Suyanto, S.Ag., M.A., serta Ust. M. Yaser Arafat, M.A., dosen UIN Sunan Kalijaga selaku pemateri pada malam ini. Para santri putra maupun putri turut hadir dalam memeriahkan acara. 

Dalam sambutannya, Prof. Tamyiz menyebutkan bahwa para santri dapat menyimak materi yang disampaikan oleh pemateri yang menurutnya sangat menarik. Pembahasan ini mengangkat tema “Menghidupkan Semangat Ulama Nusantara”, tentunya akan membahas sejarah perjuangan ulama dari masa ke masa. Selain itu, diharapkan tema ini dapat diserap oleh santri, sehingga dapat memotivasi santri untuk berprestasi dan menghidupkan semangat ulama nusantara. 

Ust. M. Yaser Arafat, M.A. membuka materi dengan melakukan tawasul–menyebutkan nama-nama ulama di Yogyakarta dari masa ke masa. Setelahnya, Ia mengungkapkan beberapa mitos di Jawa yang sejatinya merupakan sunah, seperti mitos tidak boleh menikah pada bulan Suro atau Muharam karena dianggap sial. Mitos lainnya yang masih berhubungan adalah tidak boleh keluar pada malam satu Suro karena pamali. Beberapa hal tersebut ternyata merupakan upaya untuk menghidupkan sunah Rasulullah Saw. 

“Kenapa orang Jawa disarankan tidak mengadakan acara besar pada bulan muharram? Karena ini tradisi yang dijaga kanjeng Nabi sejak era jahiliyah,” ucapnya. 

Ust. Yaser juga menambahkan bahwa adat tersebut didasari sifat Muharam sebagai salah satu bulan haram dari 4 bulan Hijriah. Bulan ini juga biasanya digunakan untuk gencatan senjata, sehingga Rasulullah pada masa itu memperbanyak tirakat dan zikir. Maka dari itu, para ulama Jawa berijtihad dengan menyarankan agar tidak mengadakan acara besar, karena pada bulan tersebut, Rasulullah sedang gencatan senjata. 

“Akhirnya, inilah (dalil tidak menyelenggarakan acara besar pada bulan Muharram) yang diambil oleh para ulama di Tanah Jawa. Kalau kanjeng Nabi aja di bulan Muharram enggak boleh perang, kanjeng Nabi memperbanyak tirakat dan menyantuni anak yatim,” tambah Ust. Yaser. 

Ia juga menjelaskan bagaimana Yogyakarta disusun dengan kaidah sunah, dengan membangun masjid-masjid terlebih dahulu. Panembahan Senopati masuk ke Kotagede dengan membangun Masjid Gede Mataraman. Hal ini sesuai dengan sunah Nabi yang pada saat hijrah membangun masjid pertama kali, yaitu Masjid Quba.

Ketika mendirikan kerajaan, masjid pathok negara (pilar kerajaan) di empat arah mata angin turut dibangun, yakni Masjid Plosokuning di utara, Masjid Babadan di timur, Masjid Dongkelan di selatan, dan Masjid Mlati di barat, diikuti dengan Masjid Gedhe Kauman yang berada di tengah Kota Yogyakarta sebagai pusatnya. Hal ini merupakan upaya menjaga negara dengan mendirikan empat masjid di arah mata angin sebagai pathok-nya agar tidak terjadi kekacauan.

Selain itu, Ust. Yaser juga membahas asal-usul penyebutan bulan-bulan di kalender Jawa dan kebudayaan Jawa lainnya yang ternyata kebanyakan lahir dari ijtihad ulama. Acara kemudian ditutup dengan doa oleh Ust. Dr. Suyanto. S.Ag., M.Ag. selaku Pengasuh PP UII Putra. (MFM/FJA)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *