Rajin Ibadah, Tapi Kok Sosialnya Nggak Saleh?
Oleh: Nandita Faiza
(Pembahasan dari perspektif Islam, sosiologi, dan teori komunikasi)
“Orang itu rajin ibadah, tapi kok nggak peka sama tetangga”, “Orang itu rajin ibadah, tapi kok sosialnya nggak saleh?”, “Rajin ibadah, tapi kok…” kalimat semacam ini sepertinya sudah tidak jarang lagi kita dapati dan sampai saat ini masih juga menjadi stigma masyarakat, terlebih di negara ini kita menjunjung tinggi nilai keagamaan, dibuktikan dengan landasan dasar negara ini yakni Pancasila, pada sila pertama yang berbunyi, “Ketuhanan yang Maha Esa”. Ya, semua warga negara Indonesia memiliki agama, dan setiap agama mempunyai tata cara ibadahnya masing-masing, terlebih agama Islam, yang seluk-beluk beribadahnya sudah jelas-jelas diatur oleh agama. Dalam agama Islam itu sendiri, sebenarnya kata “ibadah” dapat mencakup banyak hal, bahkan kegiatan apapun yang kita niatkan hanya untuk Allah semata juga bernilai ibadah. Namun demikian, ibadah yang dimaksud disini ialah ibadah di mata masyarakat, seperti halnya salat, mengaji, mengikuti kajian, dan lain sebagainya. Faktanya, orang yang tidak pernah absen menjalankan ibadah tersebut biasanya dinilai baik, saleh, dan diidam-idamkan di mata masyarakat. Dalam teori komunikasi Standpoint, hal ini terjadi karena seseorang atau masyarakat mempunyai ingatan akan pengalaman-pengalaman yang terstruktur berdasarkan posisi seseorang dalam hierarki sosial. Teori Standpoint berfokus pada bagaimana keadaan hidup seseorang mempengaruhi bagaimana individu lain memahami, dan mengkonstruksi dunia sosial dengan penekanan pada pengalaman-pengalaman yang ada. Misalnya, masyarakat beranggapan bahwa sejak dulu, seseorang yang taat beribadah itu biasanya merupakan orang yang saleh, ramah, baik hati, suka menolong, suka memberi, dan sebagainya, sehingga disukai banyak orang.
Dilansir dari uin-suka.ac.id, di kalangan muslim, sering kali terdengar pembicaraan mengenai perdebatan antara kesalehan individu dan kesalehan sosial. Mereka mengelompokkan dua bentuk kesalehan ini secara terpisah, seolah-olah ada dua jenis kesalehan dalam Islam: “kesalehan individu/ritual” dan “kesalehan sosial”. Seseorang yang dicap “rajin beribadah” ialah mereka yang mempunyai “kesalehan individu/ritual”, kesalehan ini lebih mengarah pada pelaksanaan ibadah seperti salat, zakat, puasa, haji, membaca al-Qur’an, dzikir, dst. Kesalehan ini hanya mementingkan hubungan (muamalah) kepada dirinya sendiri dan Allah, sedangkan kesalehan sosial lebih mengarah pada penanaman nilai-nilai Islami pada kehidupan bersosial, seperti bersikap ramah, suka menolong, menghormati yang tua, menyayangi sesama, dst. Mereka yang rajin beribadah tetapi sosialnya tidak saleh berarti dalam dirinya hanya ada “kesalehan individu/ritual” tanpa adanya “kesalehan sosial”, itu berarti mereka tidak mengindahkan muamalah ma’a al-nas (hubungan antar sesama manusia).
Menurut Pengasuh Pondok Pesantren UII Putri, al-Ustadz Tajul Muluk dalam kajian shubuhnya pada 15 Oktober 2023 lalu, mereka yang rajin beribadah tetapi belum bisa saleh secara sosial, disebabkan karena kurangnya pendalaman teoritik pada kedua hal tersebut. Beliau memberikan contoh, orang yang hanya diajarkan membaca al-Qur’an, bahkan sampai menghafalkannya tanpa adanya penanaman makna dan teori, bisa saja orang tersebut tidak saleh sosialnya. Berbeda halnya jika seseorang mengkaji, memahami makna al-Qur’an, ketika ia menemukan teori-teori sosial dalam al-Qur’an misalnya, maka sosialnya juga pasti akan ikut baik. Dalam konteks Islam, sebenarnya antara saleh sosial dan ritual itu seharusnya menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan, atau bahkan dipilih. Keduanya harus ada pada diri setiap muslim. Maka jika seseorang bisa sampai belum menyentuh saleh secara sosial, itu berarti ia juga belum menerapkan dalil “…masuklah ke dalam Islam secara kaffah…” (Q.S. al-Baqarah: 208). Padahal Islam juga sangat menjunjung nilai akhlak, dimana akhlak itu hubungannya tidak hanya kepada Allah, melainkan juga dengan sesama makhluk Allah.
Terdapat sebuah kisah dalam kitab Mukasyafatul Qulub karya Imam al-Ghazali, yang menceritakan tentang Abu bin Hisyam, dia adalah seorang ahli ibadah, sering bangun malam untuk bertahajud, dan selalu bermunajat kepada Allah. Akan tetapi namanya tidak tertulis sebagai nama-nama para hamba pencinta Allah SWT. Ia begitu kaget dan mempertanyakan hal tersebut, ternyata selama ini ia merasa bangga dengan ibadahnya dan asyik beribadah memikirkan dirinya sendiri sedangkan orang-orang disekitarnya sakit dan kelaparan. Bagaimana mungkin ia dapat menjadi hamba pecinta Allah SWT dan dicintai oleh-Nya jika dirinya saja tidak peduli dengan sekitarnya. Hal ini selaras dengan dalil seseorang tidak akan dikatakan mukmin sebelum ia mencintai saudaranya, layaknya dia mencintai dirinya sendiri:
عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ
لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Agama adalah nasihat, adanya nasihat ini ialah untuk dijadikan pedoman hidup di dunia dan di akhirat. Maka sudah seharusnya kita dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari kita, dalam segala aspek kehidupan ini. Jika kita benar-benar memaknai agama ini, sebenarnya Islam mengajarkan nilai yang sangat tinggi terhadap kehidupan bersosial. Allah memang memerintahkan untuk beribadah, tetapi beribadah itu sebenarnya memiliki konteks yang luas sekali. Kita diberikan akal untuk berpikir, maka dari sini kita diminta untuk berpikir ibadah mana yang paling utama, dibutuhkan, dan sesuai dengan keadaan kita saat ini. Dan jangan lupa untuk selalu meminta hidayah kepada Allah, karena mungkin saat ini kita sudah merasa baik di mata agama, tetapi ternyata belum berada di jalan yang lurus di mata Allah, naudzubillah min dzalik.
Penulis merupakan santriwati Pondok Pesantren UII Putri dan mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi Program Internasional, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!