Urgensi Pendidikan Multikultural dan Nasionalisme Demi Keutuhan NKRI
Oleh: Nisfiatur Ramdliyah
Fenomena Heterogenisme Bangsa Indonesia
Kondisi masyarakat yang plural adalah sunnatullah sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Hujurat; 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Demikian pula Indonesia di mana secara geografis merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 13.000 pulau, membentang dari Sabang sampai Merauke dengan 6.044 telah diberi nama dan lainnya belum dikenal namanya. Masing-masing pulau dihuni oleh kelompok yang memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda-beda, mulai dari budaya, bahasa, suku, bangsa dan agama. Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik dari 1.128 suku bangsa, enam agama yang diakui pemerintah dan 746 bahasa daerah. Bahkan Clifford Geertz menyebut Indonesia sedemikian kompleksnya sehingga rumit untuk menentukan anatominya secara persis.
Keragaman suku bangsa, seni, budaya dan bahasa telah membentuk Indonesia menjadi negara dengan struktur sosial yang multikultural. Hal tersebut telah disadari oleh pendiri bangsa ini bahwa keragaman bagi bangsa Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, demi menjaga kerukunan nasional, mereka menjadikan “Bhineka Tunggal Ika”/ unity in diversity sebagai sebuah semboyan persatuan. Perbedaan tidak lagi dipahami sebagai alasan bagi adanya permusuhan namun dijadikan modal untuk membangun bangsa dengan spirit persatuan. Perbedaan dijadikan sebagai modal di mana Indonesia memiliki banyak keunikan dan multitalenta sehingga bisa saling mengisi dan melengkapi antara satu dengan yang lain.
Realita Disintegrasi Bangsa
Menurut Koentjaraningrat (1985), kebanggaan bangsa Indonesia pada masa lalu adalah bahwa rakyat yang menduduki kepulauan Nusantara memiliki sifat plural dengan beraneka warna bahasa dan kebudayaan. Namun pada saat ini, keanekaragaman itu tidak lagi menjadi sebuah kebanggaan, tetapi justru menjadi pemicu konflik dan tindakan radikalisme baik karena perbedaan suku, strata sosial, agama bahkan perbedaan aliran dalam satu agama sekalipun. Beberapa konflik yang telah terjadi di Indonesia antara lain konflik Sampit (antara Suku Madura dan Dayak), konflik Poso (Kristiani dan Muslim), konflik Aceh (GAM dan RI) atau tawuran yang terjadi antar kampung, fans bola dan lain sebagainya.
Konflik-konflik sosial tersebut merupakan indikasi bahwa kebanggaan terhadap kenyataan pluralitas bangsa tidak didasarkan atas pengetahuan yang dalam tentang hakikat keragaman budaya dan penghargaan yang tinggi terhadap keragaman budaya tersebut. Hal tersebut juga menjadi bukti bahwa semboyan persatuan Bhineka Tunggal Ika masih belum bisa kita wujudkan dalam kehidupan nyata. Penanaman kesadaran multikulturalisme perlu diterapkan dalam mencegah bangsa Indonesia dari disintegrasi bangsa karena nilai-nilai multikultural memuat nilai-nilai kemanusiaan yang mampu menciptakan kehidupan harmonis di tengah perbedaan. Kesadaran multikultural dan semangat nasionalisme mampu untuk menahan gejolak radikalisme antar golongan masyarakat.
Pentingnya Nasionalisme dan Multikulturalisme
Multikulturalisme dapat kita pahami sebagai sebuah perspektif atau cara pandang yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dan fenomena kemajukan budaya, bangsa, etnis, suku, ras golongan, dan agama untuk berinteraksi atau bahkan berkontestasi di dalam batas wilayah sebuah negara. Idealisme yang ingin dicapai dengan multikulturalisme adalah kerekatan sosial melalui harga diri manusia.
Dalam multikulturalisme tidak ada budaya mayoritas dan tirani atas budaya minoritas. Multikulturalisme berusaha mengajak kita untuk menjunjung tinggi toleransi, kerukunan, perdamaian dan persatuan, meskipun berada dalam satu komunitas majemuk dan beragam. Di dalam paradigma multikultural, tidak ada fanatisme primordial. Masing-masing individu atau kelompok saling menyadari bahwa perbedaan suku, bangsa, bahasa, dan agama tidak bisa dijadikan legalita bagi adanya konflik dan permusuhan, namun harus menjadi modal utama membangun persatuan di tengah keragaman. Karenya, konsep ini memiliki signifikansi yang cukup banyak dalam upaya merawat nilai-nilai kerukunan dan keharmonisan di tengah masyarakat majemuk dan plural.
ISI (Pemuda, Nasionalisme, Radikalisme, Cara Pemecahan)
Pemuda dan Pendidikan Multikulturalisme
Rata-rata 50% penduduk dunia adalah di bawah umur 20 tahun. Di Indonesia bahkan 60% dari jumlah penduduk adalah di bawah umur 20 tahun. Berdasarkan data informasi Kementrian Pemuda dan Olahraga, Indonesia memiliki potensi pemuda sebesar 73.116.000 jiwa. Angkatan muda adalah entitas spirit dalam pergerakan dan perubahan berbagai bangsa di dunia. Benedict Anderson, seorang Indonesianist mengungkapkan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemuda. Hal itu bisa dilihat dari sejarah pergerakan bangsa Indonesia. Dr. Soetomo mendirikan Budi Utomo (1908) pada usia 20 tahun. Ki Hajar Dewantoro mendirikan Indische Partij (1914) pada usia 20 tahun. Bung Hatta mendirikan Perhimpunan Indonesia (1924) di Belanda pada usia 21 tahun. Sejarah juga membuktikan bahwa revolusi Indonesia dipelopori oleh para pemuda yang menginginkan perubahan kepada yang lebih baik.
Pemuda memiliki sifat patriotik sejati, idealis, gelora, daya tahan dan daya juang yang tinggi. Bung karno mengatakan “Beri aku sepuluh pemuda maka akan ku guncang dunia”. Bung Karno menggambarkan bahwa pemuda sebagai sosok unggul, pilihan, bergairah dan bergelora secara fisik, psikis dan intelektual. Sejarawan Taufik Abdullah mengungkapkan bahwa pemuda merupakan konsep-konsep yang sering mewujud pada nilai-nilai herois-nasionalisme. Pemuda merupakan lambang semangat yang tak pernah pudar. Mencermati peran tersebut, maka dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara pemuda harus menjadi ujung tombak dalam menjawab tantangan dan persoalan bangsa. Menurut Ginandjar Kartasasmita dalam perannya sebagai pelopor dan pemimpin, pemuda harus dibekali tiga aspek krusial yaitu semangat, kemampuan, dan pengalaman.
Pemuda Indonesia saat ini perlu dididik agar menjadi pribadi yang memiliki rasa multikulturalisme yang tinggi dan nasionalisme yang kuat. Dengan langkah ini, pemuda Indonesia diharapkan mampu untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik dari konflik internal (perpecahan kelompok) ataupun ancaman ekstenal. Pendidikan multikultural tepat untuk membangun nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan global karena memiliki nilai inti dalam perspektif lokal maupun global yakni: (a) ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (b) tanggung jawab terhadap negara kesatuan, (c) penghargaan, pengakuan, dan penerimaan keragaman budaya, (d) menjunjung tinggi supremasi hukum, dan (e) penghargaan martabat manusia dan hak asasi yang universal.
Pendidikan Multikulturalisme di Sekolah
Sekolah dapat menjadi sumber paparan budaya multikultural dan semangat nasionalisme yang paling besar dalam hidup seorang anak. Penanaman kesadaran multikultural dan semangat nasionalisme dapat dilakukan melalui pendidikan karakter dengan membentuk soft skills, atau seperti diperkenalkan oleh Robert Strenberg dari Universitas Yale yaitu succesfull intelligence (SI). SI dipercaya lebih penting daripada hard skills. Daniel Goleman mengatakan bahwa keceradasan emosional (EQ) berkontribusi sebanyak 80% pada kesuksesan seseorang, sementara kecerdasan intelektual (IQ) hanya memiliki kontribusi 20%.
Sungguh disayangkan bahwa sistem sekolah konvensional di Indonesia tidak mendukung pembentukan SI tersebut. Data dari TIMSS 2007 (Trends in International Math and Science Survey) menunjukkan bahwa hanya 1 persen dari siswa Indoensia memeniliki kemampuan berpikir tinggi (high order thinking skills/ HOTS) yakni kemampuan untuk mengolah informasi, membuat generalisasi, menyelesaikan masalah nonrutin, serta mengambil kesimpulan data. Angka ini kalah jauh dibandingkan dengan Singapura, Taiwan, dan Korea yang mencapai 40%. Sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan berpikir rendah (Low Order Thinking Skills/ LOTS) di Indonesia mencapai 78%, dengan Singpaura, Taiwan, Korea, Jepang dan Hongkong hanya di bawah 15%. Pendidikan multikultural dan nasionalisme (Pendidikan kewarganegaraan, Sosiologi dan Antropologi) di Indonesia saat ini masih pada tahap kognitif. Siswa hanya mendapatkan materi berupa pengkayaan informasi dengan minim implementasi (afektif dan psikomotorik) mengenai hal tersebut. Di samping itu, penanaman kesadaran multikultural dan semangat nasionalisme juga masih kurang maksimal.
Retna Megawangi menyebutkan bahwa pembentukan SI yang kurang maksimal disebabkan oleh sistem sekolah konvensional di Indonesia yang terlalu berorientasi akademis, dengan proses yang menekankan pada metode menghafal, latihan berulang/ drilling, dan pengajaran satu arah. Orientasi tersebut hanya melatih kemampuan berpikir rendah dan berpotensi negatif terhadap pembentukan SI, sebab hanya mengondisikan siswa untuk belajar demi lulus ujian. Setelah ujian berakhir dan siswa telah lupa seluruh hafalannya, siswa tidak punya keterampilan karena tidak disiapkan kemampuan menganalisis dan mengolah informasi yang membutuhkan kemampuan berpikir tinggi. Siswa mengetahui apa definisi nasionalisme dan hafal lagu-lagu daerah/ nasional akan tetapi mereka kurang menghayati dan mengimplementasikannya dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Kondisi Indonesia yang multikultural merupakan peluang sekaligus ancaman bagi bangsa Indonesia. Disebut sebagai peluang karena Indonesia memiliki kekayaan dan modal sehingga akan menjadi kebanggaan bangsa serta bisa akan saling bersinergi, melengkapi dan mengisi kekurangan yang ada antara satu dengan yang lain. Disebut sebagai ancaman karena apabila Indonesia tidak mampu memanage keberagaman tersebut akan mudah terjadinya friction antara satu dengan yang lain sehingga akan memicu tindakan radikalisme dan disintegrasi Nasional.
Kesadaran multicultural dan semangat nasionalisme memiliki peran yang vital dalam rangka memposisikan keberagaman sebagai peluang. Pendidikan multicultural dan nasionalisme merupakan langkah strategis dalam hal ini, khususnya untuk pemuda dimana sedang dalam masa pembentukan karakter dan posisinya sebagai agent of change untuk bangsa Indonesia. Semua itu tergantung dari setiap elemen bangsa dalam mensuksesan implementasi pendidikan multicultural dan nasionalisme di Indonesia.
Multikulturalisme bangsa Indonesia merupakan kodrat dari Allah SWT yang wajib disyukuri dan keutuhan NKRI merupakan harga mati. Menjadikan Indonesia bersatu merupakan suatu keniscayaan tergantung semua elemen bangsa dalam menumbuhkan kesadaran multicultural dan semangat nasionalisme. Apalagi kita sebagai pemuda, kita mau berkontribusi atau cukup hanya berpangku tangan?
DAFTAR PUSTAKA:
Agustian, M. Pendidikan Multikultural. Jakarta:Unika Atma Jaya, 2019.
Arini, A.S. Kaum Muda dan Budaya Demokrasi. Jakarta: Puslitbang kemendikbud. Hal 5.
Asman, A. (2009). Multikulturalisme: “Wawasan Alternatif Mengelola Kemajemuan Bangsa” dalam Jurnal Titik-Temu, Volume 2, No.1
Moeis, Pendidikan Multikultural Transformatif dalam PIPS Sebuah Sarana Alternatif Menuju Masyarakat Madani, makalah disampaikn pada Seminar Nasional Pendidikan IPS, Tanggal 5 Agustus 2006, Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Mullis, I. V., Martin, M. O., & Foy, P. (2008). TIMSS 2007. International Mathematics Report. TIMSS&PIRLS International Study Center, Boston College.
Ratna Megawangi, Tantangan Besar Pendidikan Kita,dalam koran Kompas, 15 Oktober 2012, hal.6
Said Abdullah MH. 2006. Membangun Masyarakat Multikultural. Jakarta: Taman Pust
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!