Agama dan Marwahnya Yang Kian Lama Kian Menipis


Oleh: Humaira Lathifah F. S.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali menemukan fenomena dimana kemaksiatan ‘diperhalus’ dengan penggunaan kata yang seakan mengubah imagenya menjadi baik sehingga membuat perbuatan tersebut ‘tidak terlalu’ berdosa ataupun malah membuatnya ‘terlihat’ baik. 

Contohnya perbuatan ghibah, atau membicarakan keburukan orang lain. Ghibah jelas haram hukumnya kecuali ada keperluan tertentu seperti kesaksian di pengadilan. Namun, sering kali orang-orang memperhalus penyebutan ghibah dengan berbagai macam sebutan yang membuatnya seakan menjadi perbuatan yang baik dan mendatangkan kemanfaatan. Contohnya ‘diskusi’ ‘sharing’ dan yang lain sebagainya. Padahal itu semua hanyalah gimmick supaya tidak terlihat terlalu dosa.

 

Perbuatan ini membuat masyarakat menyepelekan keburukan tersebut. Menganggap enteng kemaksiatan dan mendorong mereka untuk terus berbuat demikian. Contoh lain seperti wanita pezina disebut sebagai wanita tuna susila, atau wanita pekerja seks. Image kemaksiatan itu dibungkus sedemikian rupa agar terlihat lebih halus dan seakan ‘minim dosa’. Padahal hal tersebut sangat melanggar syariat agama dan merupakan perbuatan dosa besar.

 

Perbuatan memperhalus istilah kemaksiatan ini merupakan suatu kesalahan. Mengapa? Karena jika perbuatan ini terus dilakukan, masyarakat akan semakin menyepelekan dan terus menerus melakukan perbuatan buruk tersebut. Pezina disebut ‘perempuan pekerja seks’, ataupun wanita tunasusila, seakan istilah tersebut merupakan pekerjaan yang lumrah dalam norma agama dan masyarakat. Padahal salah besar. Terkadang berterus terang untuk mengatakan sesuatu yang salah tanpa diperhalus itu adalah sebuat keharusan. Berterus terang agar terpatri dalam benak masyarakat bahwa perbuatan tersebut salah dan dosa. Pezina sebutlah pezina, ghibah sebutlah dengan istilah ghibah, hubungan laki laki dan perempuan yang melibatkan perasaan suka sebelum menikah sebutlah pacaran.. Agar terlihatlah marwah agama sehingga menunjukkan kalau dalam agama itu ada aturannya. 

 

Dalam kitab syajaratul ma’arif karya syaikh ‘izzuddin bin abdi salam tercantum penjelasan mengenai hal ini, yakni dalam pasal fil idzharil ghadabi fil inkari dan pasal fis sababi wal inkari wa fii muwaajahatil mu’anidi wal musharri bimaa yaqrahu. Dalam pasal tersebut disebutkan dengan jelas bahwa kita perlu berterus terang tentang suatu kemaksiatan, sebagai bentuk pencelaan terhadap perilaku maksiat dan mencegah perbuatan buruk tersebut menyebar dan dianggap hal yang lumrah oleh masyarakat awam. 

 

Marwah agama selayaknya kita jaga kesuciannya, dengan bertindak tegas mengenai perilaku menyimpang yang terjadi di tengah kehidupan yang semakin menggila. Orang-orang tak malu memperlihatkan dirinya yang sedang berbuat maksiat dan malah kebanyakan bangga akan perilakunya tersebut. Bertindak tegas seperti ini penting agar tidak semakin banyak orang yang bertindak semena-mena, menyepelekan perbuatan dosa. Mari kita senantiasa menjaga diri dari perilaku maksiat dan saling mengingatkan untuk selalu berbuat kebaikan.

Penulis merupakan santriwati Pondok Pesantren UII Putri dan mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi Program Internasional, Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya UII.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *