Kunci Kebahagiaan Hakiki dalam Kehidupan
Oleh: Yurna Hafizah
Dalam banyak kasus, kita sering mendengar bahwa cinta adalah emosi utama yang menggerakkan hati manusia. Namun, sebenarnya ada satu aspek yang lebih utama daripada cinta, yaitu rasa takut. Hal ini tercermin dalam interaksi manusia, muamalah (hubungan sosial), serta relasi kemanusiaan dan beragama. Cinta membutuhkan rasa takut, dan rasa takut berfungsi sebagai pengendali atau sistem kontrol dalam hidup kita. Misalnya, seseorang yang sedang jatuh cinta mungkin takut akan kehilangan orang yang dicintainya. Dalam konteks agama, memiliki rasa takut kepada Allah lebih penting daripada hanya mencintai-Nya tanpa rasa takut. Mengapa rasa takut diutamakan? Karena rasa takut muncul ketika kita menyadari kebesaran dan keagungan Allah SWT.
Betapa luar biasanya kekuatan Allah, Dia memiliki kuasa untuk mengubah segalanya, termasuk nasib manusia. Dua sifat Allah yang saling berkaitan erat ialah sifat jamaliyah dan jalaliyah. Allah yang Maha Pengampun dan Penyayang serta Maha Lemah Lembut adalah cerminan sifat Jamaliyah, sedangkan Allah yang Maha Besar, Maka Kuat, Maha Kuasa merupakan contoh sifat Jalaliyah. Allah bisa menciptakan sesuatu hanya dengan mengucapkan kata “kun fayakun” (jadilah), sebagaimana yang tercantum dalam Surah Yasin ayat 82. Ketika Allah berfirman “jadilah,” maka sesuatu itu dengan segera terwujud sesuai dengan kehendak-Nya. Ini menunjukkan seberapa sederhananya bagi Allah untuk mewujudkan apa pun yang Dia kehendaki. Urusan hidup kita, yang terkadang terasa rumit bagi kita, bagi Allah sangatlah sederhana. Oleh karena itu, ketika seseorang mengenali kehebatan Allah dan merasa takut kepada-Nya, rasa takut itu menjadi lebih utama daripada kecintaan kepada Allah sendiri. Dengan memiliki hubungan yang kuat dengan Allah, segala hajat kita dapat dengan mudah dikabulkan.
Setelah rasa takut kepada Allah terbentuk, muncullah al mahabbah (cinta). Dalam cinta kepada Allah, terdapat beberapa tingkatan. Tingkatan tertinggi adalah ketika kita mencintai pengetahuan akan keindahan Allah, hal ini menginspirasi dalam diri kita rasa cinta kepada Sang Pencipta ketika melihat harmonisasi dalam kehidupan. Ini merupakan pengalaman spiritual yang mendalam yang akan membawa kita lebih dekat kepada pemahaman akan kebesaran-Nya dan menciptakan ikatan batin yang kuat antara kita dan alam semesta yang Dia ciptakan. Selain itu, terdapat juga cinta yang memiliki aspek realistis dan materialistik. Terkadang, istilah “materialistik” sering dianggap memiliki konotasi negatif, padahal sebelumnya digunakan untuk menggambarkan kelompok orang yang memiliki segala sesuatu yang bersifat nyata atau berbasis materi. Sebagai contoh, dalam hubungan antar manusia, faktor materi dan aspek-aspek kehidupan sehari-hari memegang peran penting, dan itulah sebabnya materi seringkali memengaruhi dinamika hubungan. Terakhir, kecintaan yang muncul ketika mendapatkan nikmat yang Allah berikan kepada kita. Hal ini kerap dikenal dengan bersyukur. Bersyukur adalah bentuk cinta kepada Allah, dimana seorang hamba-Nya merasa puas akan ketetapan-Nya, bahkan jika seseorang bersyukur hanya ketika diberikan kenikmatan yang bersifat materi.
Selanjutnya, setelah rasa takut dan cinta kepada Allah terbentuk, datanglah konsep tawakal. Tawakal berarti memberikan ruang yang sebesar-besarnya kepada Allah. Tawakal bukan hanya pengakuan akan keberadaan Allah, tetapi juga tindakan preventif. Kita tidak pernah tahu apakah tindakan kita akan menghasilkan kebaikan atau keburukan. Contohnya adalah pernikahan, meskipun menikah adalah perbuatan baik, akan tetapi jika pasangan hidup yang dipilih ternyata tidak cocok, hal itu bisa menjadi sesuatu yang buruk. Tawakal adalah tindakan aktif yang mengakui bahwa Allah-lah yang mengizinkan, memberikan kemampuan, dan memberikan hasil terbaik. Ketika seseorang memiliki keyakinan kuat pada Allah dan selalu melibatkan-Nya dalam segala aspek kehidupannya, hasilnya akan selalu baik. Allah tidak pernah mengecewakan janji-Nya, dan Dia selalu menginginkan yang terbaik untuk hamba-Nya.
Terakhir adalah rasa khawatir dan harapan. Keduanya adalah aspek penting dalam hidup manusia. Terlalu banyak rasa khawatir yang berlebihan tanpa adanya harapan juga tidak sehat. Begitu pula sebaliknya, terlalu banyak harapan tanpa adanya rasa khawatir bisa berujung pada kekecewaan. Harapan kepada Allah selalu perlu dibarengi dengan tindakan yang baik dan taat kepada-Nya. Ini karena pengharapan kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari ketaatan kepada-Nya. Allah adalah Sang Pencipta dan Pemberi kenikmatan, dan kita perlu memahami bahwa Dia memberikan kenikmatan sesuai dengan rencana-Nya. Oleh karena itu, tindakan kita harus selalu mencerminkan ketaatan kepada-Nya.
Ketika kita memahami konsep ini dan menjalankan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip tadi, kita dapat menjalani hidup yang lebih bermakna dan penuh dengan kebahagiaan sejati, seiring dengan kecintaan dan ketakutan yang mendalam kepada Allah. Semoga artikel ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan mengenali-Nya dengan lebih baik. Allah adalah sumber segala kebaikan, dan kepada-Nya lah kita kembali.
Penulis merupakan santriwati Pondok Pesantren UII Putri dan mahasiswi Program Psikologi, Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya UII.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!