Menemukan Udang di Balik Batu, Mencari Hikmah di Balik Segala Sesuatu

Oleh: Nayla Ilma Kauna

Sepanjang perjalanan hidup, seringkali kita dihadapkan dengan situasi-situasi yang mungkin sulit dipahami atau bahkan terasa menyakitkan. Tak jarang, ketidakpahaman kita tentang sebab terjadinya suatu peristiwa memunculkan berbagai prasangka kepada yang Maha Kuasa.”Pasti ada hikmahnya”, adalah nasehat yang kerap kali kita dengar saat kita berada pada situasi tersebut. Singkat namun mendalam, wejangan ini mengajarkan kita untuk melihat dunia dengan cara yang lebih dalam dan mencari makna di balik setiap peristiwa. 

Dalam tasawuf, kata ‘hikmah’ merujuk pada pengetahuan yang hakiki tentang manfaat terdalam dari sesuatu yang tak terlihat oleh mata. Konsep ini berkaitan erat dengan salah satu sifat Allah, yaitu al-Hakim, yang berarti penuh kebijaksanaan. Secara tidak langsung, ini mengisyaratkan bahwa dengan kebijaksanaan-Nya segala hal yang terjadi di bawah kuasa Allah memiliki suatu hikmah dan tujuan, bahkan jika pada awalnya tidak terlihat jelas bagi kita.

Tidak sederhana, menghayati sifat Allah yang penuh hikmah ini memerlukan keyakinan, keterampilan dan kesabaran. Kita perlu memiliki keterampilan untuk bisa melihat sesuatu di balik sesuatu dengan tidak terburu-buru dalam menilai atau menghakimi. Sejenak bersabar dan mengambil jeda untuk kita bisa merenungi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Proses ini juga tidak singkat, bahkan Kubler Ross dalam teori 5 Stages of Grief memaparkan 5 tahapan yang dilalui manusia dalam fase berduka, yakni denial, anger, bargaining, depression, hingga dapat mencapai acceptance. Meskipun dalam hal ini hikmah tidak hanya bisa didapati dari peristiwa pahit, tetapi teori ini cukup menggambarkan bahwa ada beberapa tahapan yang perlu dilalui agar seseorang bisa menerima apa yang menimpanya dan menemukan hikmahnya. 

Proses ini juga dikorelasikan dengan Meta-Level Reflection, di mana kita merenungkan makna hidup dan tujuan dengan lebih mendalam. Meta-Level Reflection dapat diibaratkan seperti kita berdiri di depan cermin lalu memuat penilaian terhadap diri kita sendiri, mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan. Dalam Islam, konsep ini mengajarkan bahwa berpikir reflektif adalah kunci dalam mengembangkan karakter dan pemahaman yang lebih dalam tentang hidup. Berpikir reflektif dapat menggugah kesadaran akan pentingnya merenungkan perbuatan, belajar dari pengalaman, dan mengarahkan langkah-langkah ke depan dengan penuh kesadaran akan Tuhan. 

Menurut Jumal Ahmad, Meta-Level Reflection yang mencakup empat aspek utama: pertama, kemampuan mengukur kekurangan diri sendiri; kedua, kemampuan mengukur kelebihan diri sendiri; ketiga, belajar dari kesalahan; dan keempat, menentukan langkah-langkah yang harus diambil ke depan (what i need, what i have to do), yang selanjutnya diikuti dengan komitmen untuk mengikuti disiplin.

Konsep ini sejalan dengan kalam Allah dalam Surat Al-Hasyr ayat 18 yang secara eksplisit mengajak umat Islam untuk berpikir mandiri, bertakwa, dan merenungkan perbuatan mereka untuk hari esok. Dengan demikian, Al-Quran memberikan dasar yang kuat bagi berpikir reflektif. Terhubung juga dengan konsep ‘growth mindset‘ yang mana dengan pengetahuan tentang hikmah di balik setiap kejadian, kita dapat mengadopsi pola pikir pertumbuhan. Kita akan melihat masa lalu sebagai pelajaran dan masa depan sebagai peluang untuk belajar dan berkembang.

Pada akhirnya, konsep “Ada hikmah di balik segala sesuatu” mengingatkan kita bahwa hidup ini adalah perjalanan yang penuh makna. Setiap detik, setiap kejadian, dan setiap pengalaman memiliki hikmahnya sendiri. Ini adalah undangan untuk kita semua, untuk terus mencari pengetahuan, merenungkan makna, dan tumbuh sebagai individu yang lebih bijak dan kuat. Jadi, saat kita menghadapi kesulitan atau kebingungan dalam hidup, ingatlah bahwa di balik batu mungkin ada udang, dan di balik setiap peristiwa, ada hikmah yang menunggu untuk kita temukan. Hal yang kita butuhkan adalah keyakinan, pengetahuan, refleksi, dan sikap yang terbuka terhadap kebijaksanaan yang lebih besar dalam hidup ini. 

Penulis merupakan santriwati Pondok Pesantren UII Putri dan mahasiswi Program Studi Ekonomi Pembangunan Program Internasional, Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *