Surah Yusuf: Hadiah Pelipur Lara di Masa Amul Huzn untuk Rasulullah

Oleh: Nayla Ilma Kauna

“Indeed, no one despairs of relief from Allah except the disbelieving people” 

(Surah Yusuf, 12:86)

Surah Yusuf, yang diwahyukan selama periode yang penuh kesedihan dikenal sebagai ‘Amul Huzn’, tidak hanya berfungsi sebagai penghiburan bagi Nabi Muhammad SAW tetapi juga menyajikan sebuah kisah yang kaya akan pelajaran tentang mengatasi kesulitan dengan keimanan dan ketabahan. Kisah Nabi Yusuf AS menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana seseorang dapat menjalani ujian yang berat, mulai dari konflik keluarga hingga kesulitan personal yang berdampak besar terhadap kehidupan dan kesejahteraan mental seseorang.

Di awal kisah, Nabi Yusuf AS mengalami pengkhianatan ekstrem dari saudara-saudaranya yang tidak hanya cemburu tetapi juga beraksi dengan mengasingkannya lewat cara yang kejam; ia dijual sebagai budak. Peristiwa ini bukan hanya sekedar narasi tentang kekejaman, tapi juga sebuah contoh bagaimana stres dan trauma dapat berasal dari lingkungan yang paling dekat dengan kita — keluarga. Dalam psikologi modern, dikenal bahwa trauma semacam ini bisa meninggalkan bekas yang mendalam, mengganggu pengembangan pribadi dan menyebabkan masalah kepercayaan yang berkelanjutan.

Namun, dalam menghadapi semua rintangan ini, Nabi Yusuf AS memperlihatkan sebuah kualitas yang sangat penting: ketahanan. Melalui perjalanan hidupnya yang penuh dengan naik turun, dari menjadi budak hingga akhirnya naik ke posisi kekuasaan di Mesir, Nabi Yusuf AS tidak pernah kehilangan iman kepada Tuhannya. Ini menunjukkan bahwa keyakinan dan ketabahan hati dapat menjadi sumber kekuatan yang luar biasa dalam menghadapi situasi yang tampaknya tidak mungkin.

Salah satu momen paling krusial dalam kisah ini adalah ketika Nabi Yusuf AS berhadapan dengan saudara-saudaranya yang telah menganiayanya. Alih-alih memilih balas dendam, ia memilih untuk memaafkan. Ini adalah titik di mana Nabi Yusuf AS tidak hanya membebaskan saudara-saudaranya dari rasa bersalah, tetapi lebih penting lagi, ia membebaskan dirinya sendiri dari beban emosi negatif yang bisa membahayakan kesejahteraannya sendiri. Memaafkan, seperti yang ditunjukkan oleh banyak penelitian psikologi, dapat membantu memulihkan kesehatan mental dan memfasilitasi penyembuhan dari luka-luka emosi lama.

Di sisi yang lain, kisah Nabi Yusuf AS juga mencerminkan dampak emosional yang mendalam pada ayahnya, Nabi Yaqub AS, yang kehilangan kedua anaknya, Nabi Yusuf dan Binyamin, pada waktu yang berbeda. Kesedihan berlarut-larut yang dialami Nabi Yaqub AS, yang bahkan menyebabkan ia kehilangan penglihatannya, menggambarkan kondisi psikosomatik — di mana tekanan emosional yang hebat menyebabkan atau memperparah masalah fisik. Kisah ini menggarisbawahi betapa besar dampak  kesehatan emosional terhadap kesehatan fisik seseorang.

Surah Yusuf diwahyukan dalam konteks sejarah yang sangat penting dan pribadi bagi Nabi Muhammad SAW saat beliau menghadapi kesedihan yang mendalam setelah kehilangan istrinya Khadijah RA dan pamannya Abu Talib. Turunnya Surah Yusuf menjadi sumber penghiburan, pengingat, dan pengajaran yang besar bagi Nabi Muhammad SAW, menunjukkan bahwa kesulitan hidup tidaklah abadi dan dengan iman, kesabaran, dan pengampunan, seseorang dapat mengatasi bahkan tantangan yang paling berat sekalipun. Kisah ini menekankan pentingnya keimanan, ketabahan, dan pengampunan sebagai alat untuk menjaga kesehatan mental dan fisik kita di tengah tantangan hidup yang tidak terelakkan, mengajarkan kita untuk tidak hanya bertahan dalam menghadapi kesulitan tetapi juga untuk berkembang dengan memelihara sifat-sifat yang memungkinkan kita untuk memperbaiki diri dan berdampak baik lingkungan sekitar kita.

Penulis merupakan santriwati Pondok Pesantren UII Putri dan mahasiswi Program Studi Ekonomi Pembangunan Program Internasional, Fakultas Bisnis Ekonomika UII.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *