Berbuat Baik Terhadap Segala Sesuatu

Oleh: Febriyani Cahyani Purnomo

          Allah menciptakan manusia dengan segala sifat yang mengikutinya. Di antara sifat-sifat manusia yang termaktub dalam al-Qur’an, salah satunya ialah manusia itu zalim dan bodoh sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 72:

اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikulnya amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.”

          Ayat tersebut menerangkan bahwa manusia memiliki sifat yang zalim dan bodoh karena ambisi maupun nafsu yang menyilaukan mata dan menggelapkan hatinya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat baik pada sebagaimana Allah adalah zat yang baik dan tidak pernah berbuat zalim kepada segala sesuatu.

          Manusia dengan kecenderungannya yang tidak berhati-hati selalu berpotensi untuk jatuh ke dalam kezaliman. Manusia yang selalu merasa sombong karena kemampuan dan kebesaran yang ia miliki dapat berbuat zalim kepada makhluk-makhluk kecil lainnya. Namun, Islam mengimbangi sifat dasar manusia tersebut dengan perintah untuk selalu berihsan bahkan kepada hewan yang hendak disembelih. Dalam sebuah hadis, dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik kepada segala sesuatu. Jika hendak membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.” (HR. Muslim)

          Hadis tersebut memberi faedah bahwa Allah sangat menyayangi semua makhluknya sehingga tidak dibenarkan bagi kita untuk menyakiti satu sama lain. Allah melalui Nabi Muhammad Saw. mengingatkan hambanya untuk selalu berbuat ihsan.

          Di antara bentuk keihsanan Allah kepada manusia adalah dengan tidak menghukum hambanya yang tidak beribadah karena tidak sampai dakwah kepadanya. Konsep ini berjuta tahun kemudian melahirkan asas legalitas yang berlaku pada ilmu hukum pidana bahwa tanpa ada hukum yang berlaku terlebih dahulu maka tidaklah seseorang dihukum atas perbuatannya.

          Allah telah berbuat ihsan kepada kita, tentu kita juga harus berbuat ihsan kepada diri kita sendiri. Bentuk keihsanan kepada diri sendiri adalah menjaga kesehatan badan dengan makan dan istirahat secara teratur, tidak begadang tanpa alasan yang jelas, dan tidak menyakiti diri sendiri dengan pikiran-pikiran yang dapat melukai hati. Terlebih lagi, manusia yang akan membersamai diri kita sampai nyawa ditarik oleh malaikat izrail hanyalah diri kita sendiri maka berbaik-baiklah kepadanya.

          Dengan demikian, atas segala kebaikan yang Allah anugerahkan, kita harus menjadi hamba yang banyak bersyukur karena sejatinya sifat manusia itu cenderung kufur. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Mu’minun ayat 61:

ٱللَّهُ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلَّيْلَ لِتَسْكُنُوا۟ فِيهِ وَٱلنَّهَارَ مُبْصِرًا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى ٱلنَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ

Artinya: “Allah-lah yang menjadikan malam untuk kamu supaya kamu beristirahat padanya; dan menjadikan siang terang benderang. Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”

Penulis merupakan santriwati Pondok Pesantren UII Putri dan mahasiswi Program Studi Hukum, Fakultas Hukum UII.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *