Ketika Sebuah Tujuan yang Mulia Didapatkan dengan Menghalalkan Segala Cara

 

Oleh: Ghina Anfasa

Manusia hakikatnya telah diberikan akal budi, kehendak bebas, dan potensi yang luar biasa oleh Allah SWT. Sebagai makhluk yang diberi akal, manusia memiliki kemampuan untuk menentukan tujuan dalam hidupnya, seperti meraih kesuksesan, menjadi orang yang bermanfaat, menciptakan perubahan positif dalam dunia, atau segala sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun, apa yang sering kali kita abaikan adalah proses yang kita pilih untuk mencapai tujuan tersebut. 

Proses yang baik dapat menjadi sebuah fondasi kesuksesan, karena hal tersebut membantu kita menjalani perjalanan menuju tujuan yang kita rangkai. Begitu pula sebaliknya, proses yang buruk dapat menjadi hambatan serius dalam mencapai tujuan kita. Maka dari itu tujuan yang mulia harus dimulai dengan niat yang ikhlas karena Allah. Seperti dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:

  إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى   

“Amal perbuatan itu tergantung pada niat, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan.”

Yang penting niat dan tujuannya baik,ungkap seorang pelaku perbuatan yang menyalahi syariat dan ketika dia tidak lagi memiliki alasan lain. Ungkapan seperti ini sering kali dijadikan sebagai pelindung untuk menghindari teguran dan kritik yang diarahkan kepadanya. Beberapa orang bahkan menggunakan ungkapan tersebut sebagai alasan untuk menghalalkan segala cara demi mencapai niat baik mereka. Misalnya, karena ingin menegakkan agama dan membela kehormatan kaum muslimin tetapi mereka menempuh cara yang buruk dan menyalahi aturan dengan melakukan aksi teror, mencuri, membunuh dan lain sebagainya.

Kemudian bagaimana jika ada seorang yang memiliki tujuan buruk namun mereka menjalani prosesnya dengan baik dan mengikuti aturan. Apakah menjalani proses dengan baik dapat menghalalkan tujuan yang buruk? Dalam islam, tujuan yang buruk tidak dapat dibenarkan meskipun prosesnya dijalani dengan baik. Sebagaimana yang telah tertulis dalam Al-Qur’an dalam QS. Al-Kahfi 18:7 yang berbunyi “Mereka tidak mendapatkan selain dari perbuatan mereka.” ini menegaskan bahwa hasil akhir suatu perbuatan sesuai dengan tujuannya.

Hal ini sejalan pula dengan sebuah kaedah masyhur yang berkaitan dengan tujuan (al-maqashid) dan media atau proses (al-wasilah) yang berbunyi  

الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ

“Media atau proses memiliki hukum yang sama dengan tujuannya”. 

Maksud dari kaidah di atas adalah jika tujuan yang dicapai hukumnya baik, maka proses untuk mencapainya pun menjadi baik dan begitu pula sebaliknya. Namun, perlu digarisbawahi bahwa media atau proses itu terbagi menjadi dua. Media yang baik dan media yang buruk. Media yang baik memiliki hukum yang sama dengan hukum tujuan atau maksud, sedangkan media yang tidak baik adalah ketika seseorang memiliki tujuan yang baik namun dicapai dengan menggunakan cara yang tidak baik dan menyalahi syariat.

Seperti hal nya dalam menuntut ilmu. Dalam islam, menuntut ilmu adalah sebuah perintah Allah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Oleh karena itu, proses belajar nya pun harus dilakukan dengan cara yang baik dan benar agar dapat mencapai tujuan yang mulia. Namun bagaimana jika tujuan atau motivasi menuntut ilmu hanya karena ingin mendapatkan kedudukan dan jabatan yang tinggi, harta benda yang banyak atau bahkan untuk pansos? Ketika seseorang mengejar ilmu hanya demi mencari sebuah popularitas, fokusnya tidak lagi pada proses belajar dan pemahaman yang mendalam, namu ilmu itu hanya menjadi alat untuk mencari popularitas, bukan untuk kepentingan intelektual atau spiritual. Adapun tujuan menuntut ilmu harus murni karena perintah agama dan untuk mencari keridhoan Allah SWT, sehingga setiap langkah demi langkah yang kita lakukan dalam menuntut ilmu senantiasa dilindungi dan diberkahi oleh Allah SWT. Wallahu a’lam bishawab.

Penulis merupakan santriwati Pondok Pesantren UII Putri dan mahasiswi Program Studi Hubungan Internasional Program Internasional, Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya UII.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *