Hina-Mulia, Mulia-Hina: Kontestasi Ruh, Babi dan Kera dalam Jasad Basyariyah Manusia

قُلۡ هَلۡ اُنَـبِّئُكُمۡ بِشَرٍّ مِّنۡ ذٰ لِكَ مَثُوۡبَةً عِنۡدَ اللّٰهِ‌ ؕ مَنۡ لَّعَنَهُ اللّٰهُ وَغَضِبَ عَلَيۡهِ وَجَعَلَ مِنۡهُمُ الۡقِرَدَةَ وَالۡخَـنَازِيۡرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوۡتَ‌ ؕ اُولٰٓٮِٕكَ شَرٌّ مَّكَانًا وَّاَضَلُّ عَنۡ سَوَآءِ السَّبِيۡلِ
Katakanlah, apakah perlu saya beritahukan kepadamu tentang sesuatu yang lebih jelek pembalasannya di sisi Allah? Yaitu orang yang dikutuk oleh Allah dan dimurkai. Sebagian mereka dijadikan (seperti) kera dan babi dan menyembah taghut. Mereka itulah yang mendapat tempat yang paling jelek dan paling sesat dari jalan yang benar (Al-Maidah: 60)

Merenungkan berbagai ayat Quran tentang penciptaan manusia, akan kita temukan bahwa jenis makhluk ini dicipta dari sesuatu yang dianggap hina, tetapi menjadi mulia atau dimuliakan. Adam dicipta dari tanah, yang dianggap hina dan lebih rendah daripada Iblis yang dicipta dari api. Anak keturunan Adam diciptakan dari saripati tanah (nuthfah, mani) yang dianggap hina dan menjijikkan, tetapi dijadikan oleh Allah sebagai makhluk yang sempurna dan dimuliakan (ahsani taqwim). Karena dimuliakan oleh Allah, malaikat pun bersujud memuliakan Adam, tidak merasa lebih baik meski ia dicipta dari cahaya. Anak keturunan Adam juga dimuliakan oleh Allah, wa laqad karramna bani Adama, sehingga diberikan amanah dengan tugas termulia di bumi, sebagai khalifah.

Kemuliaan yang diberikan kepada manusia karena unsur ruh yang ditiupkan Allah ke dalam jasad basyariyahnya. Ruh manusia (ruhul insan) ini kekal sejak ia diciptakan sampai Allah mentakdirkan kembali apakah akan tetap dihidupkan atau dimusnahkan. Sebagian ulama merinci perjalanan panjang ruh manusia dari awal sampai akhir dalam sembilan tahapan. Tahap pertama alam ruh sebelum ditiupkan ke janin dalam kandungan, berikutnya alam Rahim, lahir ke dunia hidup di alam dunia, keempat alam sakar (sakaratul maut), kelima alam barzakh, alam kebangkitan (yaumul ba’ts), alam pengumpulan (mahsyar), alam penimbangan amal (mizan/hisab), dan kesembilan alam akhir (yaumul akhir); surga atau neraka. Sejak ia dicipta dan dimasukkan ke janin yang dikandung seorang ibu di dunia, ruh tadi sudah menyatu dengan jasad (basyar) sampai dengan ia dilahirkan di dunia, hidup dalam masa yang ditentukan ajalnya. Ajal adalah batas kehidupannya di dunia, yang jika telah datang tidak akan dapat diajukan atau diundurkan. Batas akhir itu ditandai dengan tidak lagi berfungsinya unsur basyariyah, dan pada saat itu ruh tidak lagi bisa bertempat di dalamnya. Ia akan kembali menghadap Tuhan Yang Menciptakannya.

Ruh yang kembali kepada Tuhannya itu ia akan tetap ada selama-lamanya sampai hari akhir. Jika ruh tadi kemudian masuk surga dan kekal di dalamnya (khalidina fiha abada) atau masuk neraka dan kekal pula di dalamnya (khalidina fiha), maka sifat ruh dengan sendirinya adalah kekal. Ada yang menarik ketika menyebut kekalnya orang kafir di neraka dengan istilah khalidina fiha (kekal di dalamnya), sedangkan untuk penghuni surga khalidina fiha abada (kekal di dalamnya selama-lamanya). Ini mengesankan beberapa hal, salah satunya adalah sifat kekekalan penghuni surga tanpa batas sedangkan kekekalan penghuni neraka berbatas. Sampai di sini, sesungguhnya manusia (dalam pengertian ruhnya) adalah kekal, baik ia kelak di neraka maupun di surga. Tentu saja kekal karena dikekalkan oleh Dzat Yang Maha Kekal, Allah Swt, sampai Allah berkehendak apakah ruh-ruh tadi termasuk surga dan neraka sebagai tempat huniannya akan dimusnahkan atau dipertahankan ada. Bisa jadi, Allah akan membuat sistem kehidupan baru, semua yang ada dimusnahkan, termasuk surga dan neraka beserta penghuninya, wallahu A’lam.

Ruh manusia yang kembali kepada Allah meninggalkan jasad basyariyahnya, ada yang dalam kondisi mulia dan dimuliakan sebagaimana awal penciptaannya. Disambut malaikat dengan penuh penghormatan sebagaimana hormat dan tunduknya mereka kepada Adam pertama kali, karena kemuliaan dan kesucian ruhya. Ia dihormati dan dimuliakan sejak berpisahnya dari jasad, alam barzakh, sampai hunian terakhirnya di Surga, diberi penghormatan tertinggi oleh malaikat. Sebaliknya, ada yang kembali dengan penuh rasa malu, menyesal, hina dan dihinakan. Malaikat yang dulu tunduk hormat, berbalik menjadi sosok yang sangat mengerikan dan menakutkan baginya. Bukan hanya ketika di alam akhir, bahkan kengerian wajah malaikat konon sudah tergambar sejak ruh hina tadi akan diambil dari jasad, ketika ditempatkan di alam barzakh, sampai dengan hunian terakhir, neraka. Sosok malaikat yang sangat keras dan kejam menemani kehidupannya sepanjang masa.

Jasad Basyariyah Manusia: Perpaduan Unsur Babi dan Kera?

Al-Maidah ayat 60 sangat inspiratif untuk direnungkan terkait jasad basyariyah manusia yang menjadi hunian ruhnya di dunia. “orang-orang yang dikutuk oleh Allah dan dimurkai, sebagian mereka oleh Allah dijadikan kera dan babi serta penyembah thagut. Mereka itulah yang mendapat tempat yang paling buruk dan yang paling sesat dari jalan yang benar (QS. Al-Maidah: 60). Ayat itu menyebut, sosok manusia yang paling jelek dijadikan (seperti) kera dan babi. Penyebutan dua binatang itu menarik, ketika dikaitkan dengan temuan ilmiah DNA. Dalam ilmu DNA, binatang yang paling mirip dengan DNA manusia adalah kera dan babi. Apakah dengan demikian jasad basyariyah manusia merupakan perpaduan unsur kera dan babi?

Penyebutan dua binatang itu membawa kita pada perenungan mendalam, bahwa ruh dan jasad manusia selama di dunia akan selalu terjadi perebutan, kontestasi, konfrontasi, berlomba saling mengalahkan. Ruh ingin memenangkan pertempuran dengan instrument-instrumen senjata yang disiapkan Allah (agama dan seperangkat peraturannya), sedangkan jasad berebut mengalahkan mendominasi kehidupan dengan memperturutkan keinginannya yang ditunggangi oleh setan yang sengaja dicipta untuk itu. Kontestasi bahkan konfrontasi terus menerus antara unsur kehinaan dan kemuliaan, antara ruh dan jasad berlangsung secara abadi. Nabi menyebutnya sebagai jihad akbar. Kontestasi abadi antara ruh, babi dan kera dalam jasad basyariyah manusia.

Jika pertarungan tadi dimenangkan oleh jasad basyariyah ditandai keinginan yang selalu diperturutkan, akan mendegradasi kemanusiaanya menjadi kera dan babi, bahkan lebih dari hina dari itu (ulaika kal an’am, bal hum adhallu). Tsumma radadnahu asfala safilin, dikembalikan kepada Allah dalan kondisi yang paling hina dari yang hina. Sebaliknya, jika pertarungan dimenangkan ruh ilahiyahnya, ditandai dengan ketundukan terhadap aturan yang dibuat penciptanya, maka ia akan kembali dalam kondisi yang mulia dan dimuliakan, bahkan sejak masih di dunia.

Pengasuh Pondok Pesantren UII
Suyanto Thohari

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *