KAJIAN TOKOH UII, MENUMBUHKAN KESADARAN HISTORIS SANTRI

Yogyakarta, 11 Juni 2022 – Santri Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia adalah anak ideologis UII. Sudah seharusnya sebagai anak ideologis mengenal sejarah dan mewarisi nilai-nilai tokoh pendiri UII. Ucapan tersebut merupakan penggalan pengantar yang disampaikan Ustadz Dr. Drs. Asmuni, M.A. selaku Direktur Pondok Pesantren UII dalam acara Kajian Tokoh UII, bertempat di Aula Pondok Pesantren UII Putra, Sabtu (11/6). Kajian Tokoh ini diselenggarakan untuk menggali lebih dalam bagaimana pemikiran pendiri UII dalam konteks pendidikan. Tokoh yang dikaji dalam kesempatan ini adalah Prof. Abdul Kahar Mudzakkir dan Prof. RHA. Kasmat Bahoewinangoen selaku rektor pertama dan kedua Universitas Islam Indonesia.

Narasumber kajian pemikiran Prof. Abdul Kahar Mudzakkir ialah Dr. Hj. Trias Setiawati, M.Si. Ia adalah dosen Program Studi Manajemen di UII sekaligus pemenang Sayembara Penulisan Prof. Abdul Kahar Muzakkir. Kajian tokoh pertama dibuka dengan menyaksikan bersama film dokumenter K.H. Abdul Kahar Mudzakir yang berdurasi kurang lebih 35 menit. Film tersebut menceritakan tentang kisah perjalanan hidup K.H Abdul Kahar Mudzakkir dari masa muda hingga dewasa.

Saat usianya masih remaja atau sekitar 16 tahun, Prof. Kahar sudah melanjutkan pendidikannya ke negeri Mesir dari tahun 1925 sampai 1937. Sepulangnya dari Mesir, Prof. Kahar melanjutkan pendidikannya dalam ilmu umum maupun agama, serta aktif dalam berbagai organisasi, partai politik, dan merintis perjuangan kemerdekaan RI bersama para koleganya. Ia aktif berdiplomasi di kancah internasional, mewakili dan memperkenalkan Islam di Indonesia yang masih dijajah dan menyerukan keinginan Indonesia untuk merdeka supaya dapat segera diakui dan dibantu perjuangannya. Puncak prestasi politik Prof. Kahar dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah saat ia menjadi anggota BPUPKI, PPKI, dan Panitia Sembilan.

Perjuangan Prof. Kahar tidak terhenti ketika Indonesia merdeka. Ia juga aktif berjuang dalam merintis pendidikan dan sekolah di Indonesia. Pada awal kemerdekaan Indonesia, belum ada sekolah tinggi yang berorientasi pada agama, sehingga kebutuhan akan sekolah tinggi agama menjadi sangat penting. Prof. Kahar memimpikan Islam Indonesia yang maju melalui tiga lambang: masjid, perpustakaan, dan universitas. Kemudian, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta berhasil dirintis oleh Prof. Kahar bersama beberapa tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia dengan Prof. Kahar sebagai rektor pertama pada tahun 1945. Perguruan tinggi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Islam Indonesia.

Menurut Dra. Jauharoh Abdul Kahar, putri Prof. Abdul Kahar Mudzakir, ia dikenal sebagai sosok yang suka bersilaturahmi, bersedekah, ramah, dan peduli dengan sekitar. Ia adalah “duta besar” Indonesia yang sesungguhnya, karena jasanya dalam memperjuangkan Indonesia di kancah internasional. Ia juga dikenal sebagai tokoh dan pemikir Muhammadiyah yang melampaui zamannya. Di kalangan UII, mahasiswa, dan generasi penerus UII, sosok Prof. Kahar dengan warisan epistemologi, keulamaan, serta keteladanannya dalam mengemban amanah besar tidak dapat dilupakan.

Tokoh berikut yang dikaji adalah Prof. RHA. Kasmat Bahoewinangoen, rektor kedua UII. Dr. Noor Siti Rahmani, M.Sc., Psikolog, putri bungsu dari Prof. Kasmat, adalah narasumber dalam sesi ini. Bu Noor banyak mengenal Prof. Kasmat dengan nilai-nilai, kepribadian, serta keteladanannya. Dosen Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menerangkan Prof. Kasmat sebagai sosok ayah yang tidak pernah marah atau sedih. Di kalangan mahasiswa UII ketika menjabat sebagai rektor, ia dikenal sebagai sosok yang ramah dan dekat dengan mahasiswanya.

Kisah perjuangan Prof. Kasmat untuk Islam dikisahkan ketika ia mempresentasikan Partai Islam Indonesia yang didirikan oleh Prof. Abdul Kahar Mudzakir di Kongres Al-Islam Indonesia kedua di Solo pada 2-7 Mei 1939. Kemudian, pada 5-29 November 1939, ia pernah diundang untuk menghadiri Tokyo Islamic Exhibition dan pembukaan masjid oleh komunitas Muslim di Tokyo. Selepasnya, beliau dan Prof. Kahar menyiarkan apa yang didapat dari Jepang dan memberikan judul percakapannya dengan nama “Souvenir dari Jepang”. Prof. Kasmat juga pernah ditahan oleh koloni Belanda atas tuduhan melakukan konspirasi dengan Jepang untuk melawan Belanda. Namun, beliau dibebaskan pada 1 Maret 1942 ketika Jepang datang ke Indonesia.

Dari dua tokoh nasional dan UII tersebut, banyak nilai-nilai dan keteladanan yang bisa diambil, diwarisi, dan diteruskan perjuangannya. Sebagai generasi penerus dengan segala nikmat kemerdekaan yang dirasakan, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk meneladani kesederhanaan, kesabaran, dan pemikiran mereka, serta berupaya melanjutkan perjuangan tokoh-tokoh bangsa untuk mengisi kemerdekaan Indonesia, terutama bagi santri dan santriwati Pondok Pesantren UII. Pelaksanaan kegiatan Kajian Tokoh UII diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran historis para santri, baik dalam konteks UII maupun Indonesia, serta dapat mengikuti dan meneladani pemikiran dan nilai-nilai yang dikaji. (ANM)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *