Sudahkah Kita Memosisikan Diri sebagai Hamba?

Oleh: Humaira Lathifah Faridah Syarif

Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dengan segala kelebihan dan keistimewaannya. Dengan kemampuan yang Allah berikan, manusia bisa melakukan berbagai hal. Membangun gedung, membuat berbagai kreasi dan menciptakan sesuatu yang bahkan belum terpikirkan sebelumnya. Hingga tak jarang, kejeniusan dan kehebatannya sulit diterima logika.

Karena merasa bahwa mereka bisa melakukan semuanya sendiri, kebanyakan manusia merasa ‘tidak butuh’ akan bantuan Sang Pencipta. Mereka menganggap kemampuan yang mereka miliki didapat dari hasil usaha dan kerja kerasnya saja. Padahal, sehebat apapun manusia, pasti mempunyai batasan.

Seorang hamba yang benar-benar memosisikan dirinya sebagai hamba, akan senantiasa menggantungkan harapannya pada sang pencipta, yaitu Allah swt. Dalam kitab Syajaratul Ma’arif karya imam Al-‘Izz bin Abdus Salam As-Sulmi disebutkan

العبودية هى الطاعة على غاية الذلّ والخضوع

Penghambaan itu ta’at seraya tunduk dan berserah diri (kepada Allah SWT).

Mereka yang memosisikan dirinya sebagai hamba, akan senantiasa melibatkan Allah dalam setiap usahanya. Karena mereka yakin bahwa hanya dengan berharap kepada Allah lah, mereka tidak akan kecewa. Perbedaan ukuran penghambaan seseorang bisa dilihat dari seberapa bergantungnya dia pada Allah swt. Ketika melewati masa-masa yang sulit, dia mengadu pada Allah seraya mencari jalan keluar dari kesulitan yang dia alami. 

Lantas, sudah sejauh mana kita bergantung pada Allah? Apakah masih ada dalam diri kita rasa cemas akan takdir yang akan kita alami? Sejauh mana kita telah memosisikan diri sebagai seorang hamba?

Ketika kita menaiki kereta atau pesawat, kita merasa aman walaupun kita tidak mengenal siapa masinis atau pilotnya. Lalu, mengapa kita merasa cemas dengan hidup kita yang sudah jelas bahwa Allah yang mengatur semuanya?

Berserah diri kepada Allah bukan berarti kita pasrah tanpa usaha yang berarti. Bukankah seekor anak burung makan dari hasil buruan induknya? Apakah induknya hanya diam saja menunggu makanannya datang? Tentu tidak, dia berusaha mencari makanan untuk kemudian diberikan kepada anak-anaknya.

Manusia dengan segala kemampuannya pasti mempunyai batasan. Sehebat apapun manusia tidak akan bisa melakukan semuanya sendirian. Kita pasti membutuhkan Tuhan. Karena manusia memiliki batas. Entah itu rasa lelah, sakit, cemas, dan lain-lain. Kita tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Maka kita butuh Allah yang tidak mempunyai batasan. 

Bagaimana cara menjadi hamba yang sebenar-benarnya hamba?

Ada beberapa cara untuk kita agar bisa menempatkan diri sebagai seorang hamba yang sebenar-benarnya

1. Menjadikan hanya Allah tujuan hidup kita

Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, pasti setiap manusia memiliki tujuan hidup yang berbeda-beda. Entah itu kekayaan, kesuksesan, dan lain sebagainya. Namun hakikatnya, tujuan hidup seorang muslim hanya lah untuk mendapatkan ridho Allah swt. Karena tujuan diciptakannya manusia itu sendiri adalah untuk beribadah kepada Allah, mempersiapkan amal shalih untuk kehidupan yang kekal di akhirat nanti. Jika ridho Allah swt telah didapatkan, apapun pasti akan Allah berikan.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S Az-Zariyat: 56)

2. Meyakini bahwa apa yang ada dalam diri kita adalah milik Allah

Kepintaran, kehebatan dan kelebihan yang kita miliki adalah pemberian Allah. Kita disukai, dikagumi hanya karena Allah menutup aib kita. Bayangkan saja Ketika Allah membiarkan aib kita terlihat. Apakah ada yang akan tetap menyukai kita? Tak ada yang kita punya. Semua adalah karunia-Nya. 

3. Berserah diri hanya kepada Allah

Segala yang ada di dunia ini adalah milik Allah. Semuanya ada dalam kendali-Nya. Sehingga dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan ambisi dan rintangan, kita perlu untuk melibatkan Allah dalam setiap langkah kita. Karena Allah lah pemilik alam semesta ini, Allah lah yang mengendalikan alam semesta dan seluruh isinya ini. tidak ada yang mustahil Ketika Allah sudah berkehendak.

Penulis merupakan santriwati Pondok Pesantren UII Putri dan mahasiswi Program Ilmu Komunikasi Program Internasional, Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya UII.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *