PKU Unida Gontor Bekerja Sama Dengan PP UII, Gelar Seminar Pemikiran dan Peradaban Islam

Yogyakarta, 8 November 2022 – Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (PP UII) menyambut sejumlah perwakilan Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (Unida) Gontor di Aula PP UII Putra, Condongcatur dalam kegiatan Seminar Nasional Pemikiran dan Peradaban Islam, pada Selasa (8/11/2022).

Program Kaderisasi Ulama (PKU) merupakan program intensif yang diadakan Pondok Modern Darussalam Gontor bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Yayasan Dana Sosial al-Falah Surabaya (YDSF), yang berupaya membangun cendekiawan Muslim yang mampu menguasai permasalahan kontemporer. Program ini dilaksanakan di kampus Unida Gontor selama 6 bulan dengan rincian lima bulan kegiatan akademik dan satu bulan seminar paper di lembaga pendidikan se-Jawa.

Dalam merealisasikan kegiatan seminar paper, PKU bekerja sama dengan PP UII melalui Seminar Nasional Pemikiran dan Peradaban Islam dengan menghadirkan tiga pembicara dari siswa PKU angkatan ke-16, yaitu Syahrinal, Tasya Putri Nurhayat, dan Rita Ayu Nuraini. Kegiatan dibuka dengan sambutan dari Dr. Isom Mudin, M.Ud. selaku dosen pembimbing PKU Unida Gontor dan dimoderatori oleh Wildan Arif Amrullah selaku mentor PKU.

Dalam sambutannya, Dr. Isom Mudin menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan sharing ilmu dari apa yang telah dipelajari dan diupayakan ketiga pembicara selama enam bulan di PKU, yang mana mengharapkan saran, kritik yang membangun, dan dialog ilmu dari santri PP UII dan juga para asatidz. Sambutan pula disampaikan oleh Dr. Tamyiz Mukharrom, M.A. selaku Direktur Pondok Pesantren. Beliau menyambut baik kegiatan seminar ini dan berharap seminar ini tidak menjadi pertama dan terakhir diselenggarakan di PP UII.

 

Problem Keluarga di Barat dalam Tinjauan Maqashid al-Syariah

Pembahas pertama, Syahranil, memaparkan bahwa tidak akan ada peradaban tanpa keluarga. Peradaban berawal dari sebuah bangsa, dan bangsa itu terbentuk dari masyarakat dan inti sebuah masyarakat adalah keluarga, dan keluarga terbentuk karena adanya pernikahan. Namun dewasa ini, fenomena di negara Barat memunculkan pola hubungan keluarga baru yang mereka sebut dengan The New Family.

Dalam pembahasannya, Syahranil memaparkan bahwa potret keluarga di Barat saat ini bukanlah suatu hal yang statis melainkan dinamis bentuk pola dan hubungannya, menyesuaikan budaya dan zaman. Pernikahan tidak lagi menjadi prasyarat dalam membentuk keluarga. Pernikahan tidak harus terwujud antara laki-laki dan perempuan, namun dapat sesama jenis; memiliki anak merupakan pilihan. Keluarga telah kehilangan fungsi dan perannya dalam menata tatanan sosial dalam masyarakat.

Selanjutnya, Syahranil menjelaskan fenomena keluarga di Barat saat ini dalam pandangan maqashid al-syariah. Dalam pandangan maqashid al-syariah, terdapat aturan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, sehingga disyariatkan pernikahan. Syariat pernikahan ini dapat menghindarkan permasalahan-permasalahan sosial dan kesehatan, seperti tercampurnya nasab dan HIV/AIDS sebagai dampak dari hubungan bebas. Pernikahan juga dapat menjaga at-tadayyun, yaitu menjaga anggota keluarga agar menjalankan syariat agama. Poin terakhir adalah bahwa pernikahan dapat menata struktural fungsional – laki-laki sebagai kepala keluarga yang memimpin anggota keluarganya agar mencapai tujuan, yaitu rida dan surga Allah Swt.

Syahranil menyimpulkan bahwa pernikahan menurut maqashid al-syariah merupakan satu-satunya jalan yang absah bagi hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Sebuah pasangan itu terdiri dari laki-laki dan perempuan; memiliki anak merupakan sebuah kebaikan dan anugerah yang besar, dan suami sebagai kepala keluarga bertanggung jawab terhadap anggota keluarganya baik di dunia maupun akhirat.

 

Qira’ah Mubadalah Atas Hadits Misoginis: Telaah Kritis Pemikiran Faqihuddin Abdul Kodir

Pembicara kedua dari Seminar Nasional PKU, Tasya Putri Nurhayat, menjelaskan bahwa Faqihuddin Abdul Kodir merupakan salah satu akademisi muslim kontemporer yang ingin merekonstruksi hadis-hadis misoginis – dianggap isinya menyalahkan dan merendahkan derajat kaum wanita, melalui pengadopsian metode hermeneutika guna menghasilkan penafsiran yang setara. Faqihuddin memberikan empat rumus dalam penafsiran atas hadis misoginis, yaitu: (1) berbasis tauhid – dengan kalimat tauhid yang mengacu pada dua hal: tauhid vertikal (hubungan antara manusia dan rabb-nya) serta tauhid horizontal (tauhid sosial yang meniscayakan hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak boleh saling memandang sebelah mata dan tidak ada otoriter terhadap lawan jenis); (2) klasifikasi manusia berdasarkan tiga prinsip – mabadi, qawa’id, dan juz’iyat; (3) mementingkan unsur kontekstual dalam penafsiran teks-teks hadis; serta (4) merekonstruksi istilah dalam bahasa Arab, terutama kata mar’ah dan rijal.

Tasya mengkritik pemikiran bahwa tafsir berbasis tauhid ala Faqihuddin berbeda dengan mayoritas para ulama. Menurutnya, asumsi dasar yang digunakan dalam mengklasifikasi manusia berdasarkan kelompok bertentangan dengan syariat; konsep mabadi terlampau sempit, hanya dalam perspektif gender. Tafsir kontekstual ala Faqihuddin juga terlalu menggeneralisasi bahwa setiap hadis harus dimaknai secara kontekstual, padahal terdapat sejumlah hadis yang tidak bisa dipahami secara kontekstual tetapi tekstual. Selain itu, mengubah istilah dalam bahasa Arab sejatinya telah menyelisihi kamus-kamus yang ada sepanjang tradisi intelektual Islam.

 

Kritik Atas Hubungan Moralitas dan Agama dalam Pandangan The New Atheism

The New Atheism adalah konsep yang muncul pada abad ke-21 yang mempromosikan nilai-nilai ateisme melalui berbagai karya literatur. Perbedaan new atheism dan gerakan ateis sebelumnya mencakup tiga perbedaan mendasar: (1) perbedaan spesifikasi; (2) perbedaan akar pemikirannya; serta (3) terdapat pada gerakannya. Para pemikirnya (the new atheists) menyatakan bahwa tidak ada keterkaitan antara moralitas dan agama. Mereka meyakini bahwa agama merupakan sumber penderitaan mereka.

Pembicara ketiga, Rita Ayu Nuraini, dalam pemaparannya menyanggah pernyataan ini dengan pertanyaan reflektif: apakah dengan menjadi tidak beragama atau ateis akan menjadikan manusia lebih bermoral? Dalam kesimpulannya, Rita memaparkan tiga poin utama. Pertama, penafian agama dalam pembentukan moral merupakan bagian dari sekularisme. Kedua, dalam dogma agama, moralitas dan agama tidak dapat dipisahkan. Ketiga, dalam Islam, manusia yang baik dan bermoral adalah yang dapat mengintegrasikan kehidupan spiritual dan material menuju pengaktualan manusia yang bertakwa.

Menjelang akhir sesi, Dr. Ishom Mudin selaku dosen pembimbing PKU Gontor memberikan kesimpulan umum bahwa kita sebagai umat muslim harus selalu kritis dan berhati-hati terhadap qira’ah mu’ashirah atau bacaan-bacaan kontemporer. Pelbagai bacaan tersebut mengandung pemikiran dan metodologi yang selalu menyasar hal yang serupa seputar isu gender, kesetaraan, hak asasi manusia (HAM), dukungan terhadap gerakan LGBT, dan sebagainya. Sehingga, basis dari pemikiran ini perlu dipersoalkan: apakah termasuk ijtihadi atau dekonstruksi. (ANM)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *