MANAJEMEN WAKTU PARA ULAMA

Oleh Amri Nadia Mulandari

Waktu adalah salah satu nikmat yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Dalam kitab suci Al-Quran, Allah bersumpah dengannya bahwa waktu siang dan malam adalah sebuah kesempatan yang sering disia-siakan oleh kebanyakan manusia, sehingga sungguh mereka berada dalam kerugian. Diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalam keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang”. Sudah sepatutnya seorang Muslim sejati menggunakan waktu mereka sebaik-baik mungkin. Mari berkaca pada potret gemilang manusia shalih atau ulama terdahulu yang mampu menciptakan beribu-ribu karya besar, menghafal ayat Al-Quran dan tafsirnya, menulis dan mengumpulkan hadis, dan sebagainya. Pada dasarnya, mereka memiliki jumlah waktu yang sama setiap harinya dengan manusia lainnya. Namun yang membedakan antara ulama terdahulu dengan manusia lainnya dapat dilihat dari hasil yang berbeda. Perbedaan ini terdapat pada bagaimana para ulama menghargai dan mengatur setiap detik dari waktu yang dimiliki.

Ibnu Jarir Ath-Thabari

Ibnu Jarir ath-Thabari adalah seorang Guru besar ilmu tafsir, ahli hadits dan pakar sejarah serta seorang imam yang mulia. Ia adalah seorang ulama yang hidup di masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Karya dari kitab tarikh dan tafsir yang ditulis olehnya jika dihitung berjumlah sekitar 7000 hingga 8000 lembar. Dalam kondisi tercetak, kitab tarikh hadir dalam sebelas jilid besar. Sementara kitab tafsir tercetak dalam 30 jilid besar. Masing-masing dari satu jilid buku itu sebenarnya berasal dari beberapa jilid yang dirangkum menjadi satu. Murid Ibnu Jarir, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Ja’far al-Farghawi, menyebutkan dalam kitabnya yang terkenal dengan sebutan kitab Ash-Shilah, yakni kitab yang menjelaskan cakupan kitab tarikh Ibnu Jarir, bahwa ada sebagian murid-murid Ibnu Jarir yang mencoba merangkum apa yang ditulis olehnya sejak ia baligh hingga wafat pada usia 86 tahun kemudian membagi hitungan lembar semua tulisan itu. Akhirnya diketahui lah bahwa setiap harinya Ibnu Jarir menulis sebanyak 14 lembar.

Al-Qadhi Abu Bakar bin Kamil, murid sekaligus sahabat Ibnu Jarir, pernah menggambarkan bagaimana beliau mengatur waktu dan aktivitasnya. Ia menceritakan bahwa Ibnu Jarir setelah makan siang ia akan tidur dan kemudian bangun untuk melaksanakan shalat Dzuhur. Ia menyusun tulisan hingga shalat Ashar. Setelah shalat Ashar ia keluar untuk memberikan pengajaran kepada kaum Muslim, membacakan hadits, atau menyimak murid-muridnya menyetor hafalan hadits hingga waktu Maghrib. Usai shalat, beliau duduk kembali untuk memberi pelajaran fiqih dan pelajaran lain hingga waktu Isya’ di waktu takhir (sepertiga malam pertama).

Imam Nawawi

Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murri al-Hizami al-Haurani asy-Syafi’i atau lebih dikenal dengan Imam Nawawi adalah penghafal al-Quran terkemuka yang menjadi panutan, syaikhul Islam, dan pemimpin para wali. Salah seorang muridnya, Syaikh Abul Hasan bin al-Aththar berkata bahwa, Imam Nawawi menghabiskan setiap harinya untuk membaca 12 pelajaran beserta syarah dan tashih di hadapan gurunya, serta ia memberikan komentar terhadap semua yang berkaitan dengan keterangan buku-buku tersebut, merevisi ungkapan, dan menertibkan bahasanya. Karena kecintaan terhadap ilmu dan tidak ingin waktunya berlalu dengan sia-sia, murid Imam Nawawi bahkan pernah mengungkapkan bahwa Imam Nawawi tidak makan dalam sehari semalam kecuali hanya sekali saja yaitu setelah akhir waktu Isya’.

Ibnu Taimiyyah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim al-Harrani ad-Dimasyqi al-Hanbali adalah salah seorang ulama yang dalam usia 57 tahun menghasilkan sekitar 500 jilid karya tulis. Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Dzailu Thabaqatil Hanabilah berkata bahwa jumlah karya Ibnu Taimiyyah benar-benar telah memenuhi penjuru negeri dan jumlahnya terlampau banyak, sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk menghitungnya. Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak melewatkan waktunya walau sesaat kecuali untuk mengajar, menulis atau beribadah bahkan dalam keadaan sakit atau bepergian, ia selalu menelaah dan menetapi pelajarannya.

Sudah seharusnya nikmat waktu yang telah Allah berikan digunakan dan diatur sebaik-baiknya. Karena waktu yang telah berlalu tidak akan pernah kembali dan kebanyakan manusia termasuk orang-orang yang merugi karenanya. Terutama waktu muda dan waktu kosong yang sangat merusak apabila tidak dimanfaatkan dengan baik, sebagaimana diungkapkan dalam sebuah syair “Sesungguhnya masa muda, waktu kosong, dan banyak harta dapat menjadi faktor perusak yang sangat berbahaya bagi manusia”. Wallahu a’lam bishowab.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *